Sabtu, 09 Juni 2012

TUGAS KULIAH CHUUUY


Name   : Mahmudah Widiyaningsih
NIM    : 09320140
Class    : A/Cultural Studies
ANALISIS SEMIOTIK STRUKTURALISME PADA MITOS TRADISI RITUAL TINGKEPAN JAWA
(7 BULAN KEHAMILAN)
CONTEXT tradisi tingkepan masyarakat jawa)
Tingkepan adalah sebuah tradisi atau budaya tradisional yang dilakukan oleh para ibu-ibu hamil pada masa 7 bulan kehamilan. Tradisi ini di bawa oleh para nenek moyang dan sampai saat ini masih sering kali dipercaya dan dilakukan oleh kebanyakan masyarakat desa. Tradisi seperti ini dilakukan oleh masyarakat desa yang berlokasi di kecamatan pacet, kabupaten mojokerto yang menurut pendapat masyarakat setempat ritual 7 bulanan ini bertujuan untuk agar supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan apapun dan bayi yang akan dilahirkan adalah suci, dan mendapatkan berkah dari Tuhan YME. Ritual ini biasanya dilaksanakan pada tanggal 14 dan 15 tanggal jawa, menurut kepercayaan agar bayi yang dilahirkan memiliki cahaya yang bersinar, dan menjadi anak yang cerdas.
Adapun proses yang dijalani dalam ritual ini yaitu sang suami dan sang istri yang sedang mengandung tersebut di bawa ke sungai untuk melakukan siraman yang prosesinya di pandu oleh seorang sesepuh yang dipercaya untuk mengarahkan setiap proses ritual. Biasanya siraman ini dilaksanakan pada pukul 15.00-16.00 yang mana menurut kepercayaan pada jam-jam itulah bidadari turun mandi.  
Suami dan istri tersebur berangkat ke sungai dengan seluruh anggota keluarga dan juga salah seorang sesepuh yang sudah ahli dalam bidang ritual ini yang akan jadi pemandu ritual. Tak lupa sang istri telah mempersiapkan tumpeng sebelumnya yang akan di bawa ke sungai sebagai salah satu syaratnya. Tumpeng tersebut meliputi ubi-ubian 7 rupa, rujak manis, jenang procot, jenang blowok, jenang abang, jenang menir, jenang sengkolo, jajan pasar, pasung, waluh diisi parutan klapa dan gula, nasi aki, takir ponthang (uang+beras kuning) dan juga tupeng kuat yang meliputi tumpeng dengan Urab-urab tanpa cabe, telur ayam rebus dan lauk yang dihias.
Setelah sampai di sungai, mereka memanggil masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar sungai untuk berbondong-bondong menikmati tumpeng yang telah dipersiapkan tadi dan salah seorang yang di anggap pintar atau dipercaya, disuruh untuk berdo’a supaya semuanya barokah dan berjalan dengan lancar. Istilah tumpengan ini biasanya disebut dengan kundangan. Kundangan ini tidak hanya dilakukan di sungai tetapi juga di rumah mereka sendiri dengan mengundang beberapa dari tetangga mereka dengan jumlah dan jenis tumpeng yang sama.
Setelah sleseai kundangan barulah prosesi siraman dilakukan. Suami dan istri masuk kedalam sungai dan mereka di instruksikan untuk duduk di dalam sungai. Sang suami dan sang istri yang sedang mengandung di suruh melepas baju dan menggantinya dengan “jarik” (kain tradisional jawa yang biasanya dipergunakan sebagai bawahan oleh masyarakat jawa tradisional) dan memakai daun pisang muda di bagian perut yang berfungsi sebagai tagen. Prosesi selanjutnya yaitu sang dukun menghantamkan telur dihadapan suami dan istri dengan tujuan agar proses kelahiran menjadi mudah.
Setelah itu memasukkan telur ayam kampung ke dalam kain (jarik) calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah, hal ini merupakan simbul harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan. Sesepuh  mengguyur seluruh tubuh suami istri tersebut, selanjutnya suami istri melanjutkan sendiri suami tepat berada didepan istri, suami mengguyur badan istri dr depan, saudara mengambil baju yg sengaja di hanyutkan ke sungai untuk dicuci. selanjutnnya mereka melanjutkan mandi sendiri, setelah itu mereka ganti baju dan pulang. Setelah dirumah suami menyisir rambut wanita di dapur. Orang tua memberikan minuman jamu anton-anton (memudahkan melahirkan).
Ritual ini dilakukan oleh para masyarakat tradisional dijaman dahulu dan sampai sekarangpun tetap dilakukan tapi untuk sekarang sudah terjadi perubahan seperti halnya setting. Jika dahulu prosesi dilakukan di sungai kini masyarakat melakukannya di kamar mandi rumah masing-masing karena dianggap lebih simple.
TEORI
·         Teori semiotic structural Barthes
Menurut Barthes dasar- dasar semiotik struktural adalah sebagai berikut:
1. Tanda adalah sesuatu yang terstruktur dalam kognisi manusia dalam kehidupan bermasyarakat
2. Makna bukanlah sesuatu yang terberikan atau dianggap benar
3. Makna tercipta dari system alih kode,  aturan/kesepakatan maupun tanda secara historis
4. Apabila manusia memandang suatu gejala budaya sebagai tanda, maka ia melihatnya sebagai sebuah struktur
5. Manusia dalam kehidupannya melihat tanda melalui dua poros, yakni sintagmatik dan asosiatif.
6.  Analisisnya didasari oleh sebagian atau seluruh kaidah – kaidah analisis strukur.
7. Tanda konotatif tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya
8. Barthes mengatakan penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos
·         ada tiga jenis tanda yaitu:
1.      Ikon adalah tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya berdasarkan pada keserupan identitas.
2.      Indeks adalah tanda yang hubungan antara representamen dan objeknya berdasarkan hubungan sebab akibat.
3.      Lambang adalah tanda yang hubungan antara repesentamen dan objeknya didasari oleh konvensi sosial.
ANALISA
Analisis ini kaitanya dengan perwujudan benda budaya atau simbolis-simbolis yang menandakan suatu makna tertentu yang mana akan dikaitkan dengan teori semiotik barthes sebagai teori yang membantu dalam menginterprestasikan tanda-tanda dan makna yang ada pada tradisi tingkepan ini.
Dalam budaya ini terdapat beberapa simbol yang digunakan dalam prosesi atau ritual adat yang mana simbol ini sebenarnya menandakan suatu makna yang tercipta karena adanya historis yang menimbulkan mitos dan itulah menjadi sesuatu yang melambangkan sebuah tanda dan menjadikan tanda memiliki sebuah makna baru yang menjadikannya sebuah mitos.
Contoh, simbol “Tumpeng Kuat” yang sudah dipercaya masyarakat dan selalu harus ada pada saat tingkepan sebenarnya memiliki sebuah makna jadi bukanlah hanya sebatas makanan yang tersaji dan untuk dinikmati saja tapi tumpeng itu menurut pendapat masyarakat setempat merupakan sesuatu yang sudah dipercaya dan menjadi mitos umum bahwasannya “tumpeng kuat” memaknakan bahwa bayi yang akan dilahirkan nanti sehat dan kuat.
Simbol “telor” yang digunakan pada prosesi juga memiliki sebuah makna. Telor disini tidaklah hanya sebatas telor yang biasanya dimakan oleh masyarakat tapi telor dapat menyimbolkan sesuatu. Dalam hal ini masyarakat mempercayai bahwa memecahkan telor dalam hal ini merupakan simbol harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan. Dan hal ini akan menimbulkan sebuah mitos jikalau tidak dilaksanakan. Mitos itu ialah jika tidak memecah telor pada saat hamil 7 bulanan kemungkinan susah saat melahirkan bayi akan sangat tinggi.
“Rujak buah-buahan tujuh macam” juga bisa menyimbolkan sesuatu. Ketika tujak ini dihidangkan sebaik-baiknya supaya rujaknya enak dan menarik , bermakna anak yang dilahirkan menyenangkan dalam keluarga dan ini juga dipercaya bahwasannya jika rujak yang dibuat terlalu pedas maka kemungkinan bayi yang lahir adalah cowok dan jika rujak tidak terlalu pedas maka bayi dalam kandungan diperkirakan adalah cewek. Seperti inilah mitos yang ada yang bisa menjadi simbol dari suatu objek dalam ritual buadaya.
“Siraman” yang merupakan acara inti dalam acara ini juga memiliki sebuah simbol yaitu bermakna mohon doa restu, supaya suci lahir dan batin. Jadi baik orang tua dan anak yang ada dikandungan mendapakkan ritual ini untuk menucikan diri. Dengan adanya iringan taburan bunga tujuh rupa yang menambah sebuah kesakralan ritual atau tanda kesucian tersebut.
Dari analisa tentang beberapa simbol dari acara tingkepan itu sendiri, kita bisa menyimpulkan bahwasannya suatu simbol itu muncul yang mana dibaliknya ada sebuah mitos yang menjadikan tanda itu bermakna sehingga bisa menjadi sesuatu yang membudaya. Seperti halnya yang dikatakan barthes “penandaan adalah mitos itu sendiri, kehadiran dalam bentuk maupun konsep dalam tanda cultural”. Barthes juga mengemukakan bahwasannya “jika kita ingin menghubungkan sebuah skema mistis dengan sebuah sejarah umum, untuk menjelaskan bagaimana skema itu sejalan dengan kepentingan masyarakat tertentu-singkatnya, dari semiologi menjadi idiologi, perlu kiranya menjadi seorang semiologi dalam memahami priinsip dasar mitos. Bahwasannya mitos mentrasnformasikan sejarah menjadi alam”. Dan dari analisa ini kita dapat mengetahui makna strukturalis dari sebuah simbol yang diproduksi oleh mitos yang mana makna itu telah membudaya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar