Name :
Mahmudah Widiyaningsih
NIM :
09320140
Class :
A/Cultural Studies
ANALISIS
SEMIOTIK STRUKTURALISME PADA MITOS TRADISI RITUAL TINGKEPAN JAWA
(7 BULAN KEHAMILAN)
CONTEXT
tradisi
tingkepan masyarakat jawa)
Tingkepan
adalah sebuah tradisi atau budaya tradisional yang dilakukan oleh para ibu-ibu
hamil pada masa 7 bulan kehamilan. Tradisi ini di bawa oleh para nenek moyang
dan sampai saat ini masih sering kali dipercaya dan dilakukan oleh kebanyakan
masyarakat desa. Tradisi seperti ini dilakukan oleh masyarakat desa yang
berlokasi di kecamatan pacet, kabupaten mojokerto yang menurut pendapat
masyarakat setempat ritual 7 bulanan ini bertujuan untuk agar supaya bayi lahir dengan lancar,
tanpa suatu halangan apapun dan bayi yang akan dilahirkan adalah suci, dan
mendapatkan berkah dari Tuhan YME. Ritual ini biasanya dilaksanakan pada
tanggal 14 dan 15 tanggal jawa, menurut kepercayaan agar bayi yang dilahirkan
memiliki cahaya yang bersinar, dan menjadi anak yang cerdas.
Adapun
proses yang dijalani dalam ritual ini yaitu sang suami dan sang istri yang
sedang mengandung tersebut di bawa ke sungai untuk melakukan siraman yang
prosesinya di pandu oleh seorang sesepuh yang dipercaya untuk mengarahkan
setiap proses ritual. Biasanya
siraman ini dilaksanakan pada pukul 15.00-16.00 yang mana menurut kepercayaan pada
jam-jam itulah bidadari turun mandi.
Suami
dan istri tersebur berangkat ke sungai dengan seluruh anggota keluarga dan juga
salah seorang sesepuh yang sudah ahli dalam bidang ritual ini yang akan jadi
pemandu ritual. Tak lupa sang istri telah mempersiapkan tumpeng sebelumnya yang
akan di bawa ke sungai sebagai salah satu syaratnya. Tumpeng tersebut meliputi
ubi-ubian 7 rupa, rujak manis, jenang procot, jenang blowok, jenang abang,
jenang menir, jenang sengkolo, jajan pasar, pasung, waluh diisi parutan klapa
dan gula, nasi aki, takir ponthang (uang+beras kuning) dan juga tupeng kuat
yang meliputi tumpeng
dengan Urab-urab tanpa cabe, telur ayam rebus dan lauk yang dihias.
Setelah
sampai di sungai, mereka memanggil masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar
sungai untuk berbondong-bondong menikmati tumpeng yang telah dipersiapkan tadi
dan salah seorang yang di anggap pintar atau dipercaya, disuruh untuk berdo’a
supaya semuanya barokah dan berjalan dengan lancar. Istilah tumpengan ini
biasanya disebut dengan kundangan. Kundangan ini tidak hanya dilakukan di
sungai tetapi juga di rumah mereka sendiri dengan mengundang beberapa dari
tetangga mereka dengan jumlah dan jenis tumpeng yang sama.
Setelah
sleseai kundangan barulah prosesi siraman dilakukan. Suami dan istri masuk
kedalam sungai dan mereka di instruksikan untuk duduk di dalam sungai. Sang
suami dan sang istri yang sedang mengandung di suruh melepas baju dan
menggantinya dengan “jarik” (kain tradisional jawa yang biasanya dipergunakan
sebagai bawahan oleh masyarakat jawa tradisional) dan memakai daun pisang muda
di bagian perut yang berfungsi sebagai tagen. Prosesi selanjutnya yaitu sang
dukun menghantamkan telur dihadapan suami dan istri dengan tujuan agar proses
kelahiran menjadi mudah.
Setelah itu memasukkan telur ayam
kampung ke dalam kain (jarik) calon ibu oleh suami melalui perut sampai pecah,
hal ini merupakan simbul harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu
halangan.
Sesepuh mengguyur seluruh tubuh suami
istri tersebut, selanjutnya suami istri melanjutkan sendiri suami tepat berada
didepan istri, suami mengguyur badan istri dr depan, saudara mengambil baju yg
sengaja di hanyutkan ke sungai untuk dicuci. selanjutnnya mereka melanjutkan
mandi sendiri, setelah itu mereka ganti baju dan pulang. Setelah dirumah suami
menyisir rambut wanita di dapur. Orang tua memberikan minuman jamu anton-anton
(memudahkan melahirkan).
Ritual
ini dilakukan oleh para masyarakat tradisional dijaman dahulu dan sampai
sekarangpun tetap dilakukan tapi untuk sekarang sudah terjadi perubahan seperti
halnya setting. Jika dahulu prosesi dilakukan di sungai kini masyarakat
melakukannya di kamar mandi rumah masing-masing karena dianggap lebih simple.
TEORI
·
Teori
semiotic structural Barthes
Menurut Barthes dasar-
dasar semiotik struktural adalah sebagai berikut:
1. Tanda adalah sesuatu yang terstruktur dalam kognisi manusia dalam kehidupan bermasyarakat
1. Tanda adalah sesuatu yang terstruktur dalam kognisi manusia dalam kehidupan bermasyarakat
2. Makna bukanlah
sesuatu yang terberikan atau dianggap benar
3. Makna tercipta dari
system alih kode, aturan/kesepakatan
maupun tanda secara historis
4. Apabila manusia memandang suatu gejala budaya sebagai tanda, maka ia melihatnya sebagai sebuah struktur
5. Manusia dalam kehidupannya melihat tanda melalui dua poros, yakni sintagmatik dan asosiatif.
6. Analisisnya didasari oleh sebagian atau seluruh kaidah – kaidah analisis strukur.
4. Apabila manusia memandang suatu gejala budaya sebagai tanda, maka ia melihatnya sebagai sebuah struktur
5. Manusia dalam kehidupannya melihat tanda melalui dua poros, yakni sintagmatik dan asosiatif.
6. Analisisnya didasari oleh sebagian atau seluruh kaidah – kaidah analisis strukur.
7. Tanda konotatif
tidak hanya memiliki makna tambahan, namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif
yang melandasi keberadaannya
8. Barthes mengatakan
penggunaan konotasi dalam teks ini sebagai: penciptaan mitos
·
ada tiga jenis tanda yaitu:
1.
Ikon adalah tanda yang hubungan antara
representamen dan objeknya berdasarkan pada keserupan identitas.
2.
Indeks adalah tanda yang hubungan antara
representamen dan objeknya berdasarkan hubungan sebab akibat.
3.
Lambang adalah tanda yang hubungan
antara repesentamen dan objeknya didasari oleh konvensi sosial.
ANALISA
Analisis
ini kaitanya dengan perwujudan benda budaya atau simbolis-simbolis yang
menandakan suatu makna tertentu yang mana akan dikaitkan dengan teori semiotik
barthes sebagai teori yang membantu dalam menginterprestasikan tanda-tanda dan
makna yang ada pada tradisi tingkepan ini.
Dalam
budaya ini terdapat beberapa simbol yang digunakan dalam prosesi atau ritual
adat yang mana simbol ini sebenarnya menandakan suatu makna yang tercipta
karena adanya historis yang menimbulkan mitos dan itulah menjadi sesuatu yang
melambangkan sebuah tanda dan menjadikan tanda memiliki sebuah makna baru yang
menjadikannya sebuah mitos.
Contoh, simbol “Tumpeng Kuat” yang sudah dipercaya masyarakat dan selalu harus ada
pada saat tingkepan sebenarnya memiliki sebuah makna jadi bukanlah hanya
sebatas makanan yang tersaji dan untuk dinikmati saja tapi tumpeng itu menurut
pendapat masyarakat setempat merupakan sesuatu yang sudah dipercaya dan menjadi
mitos umum bahwasannya “tumpeng kuat” memaknakan bahwa bayi yang akan
dilahirkan nanti sehat dan kuat.
Simbol “telor” yang digunakan pada
prosesi juga memiliki sebuah makna. Telor disini tidaklah hanya sebatas telor
yang biasanya dimakan oleh masyarakat tapi telor dapat menyimbolkan sesuatu.
Dalam hal ini masyarakat mempercayai bahwa memecahkan telor dalam hal ini
merupakan simbol harapan supaya bayi lahir dengan lancar, tanpa suatu halangan.
Dan hal ini akan menimbulkan sebuah mitos jikalau tidak dilaksanakan. Mitos itu
ialah jika tidak memecah telor pada saat hamil 7 bulanan kemungkinan susah saat
melahirkan bayi akan sangat tinggi.
“Rujak buah-buahan tujuh macam” juga
bisa menyimbolkan sesuatu. Ketika tujak ini dihidangkan sebaik-baiknya supaya
rujaknya enak dan menarik , bermakna anak yang dilahirkan menyenangkan dalam
keluarga dan ini juga dipercaya bahwasannya jika rujak yang dibuat terlalu
pedas maka kemungkinan bayi yang lahir adalah cowok dan jika rujak tidak
terlalu pedas maka bayi dalam kandungan diperkirakan adalah cewek. Seperti
inilah mitos yang ada yang bisa menjadi simbol dari suatu objek dalam ritual
buadaya.
“Siraman”
yang merupakan acara inti dalam acara ini juga memiliki sebuah simbol yaitu bermakna mohon doa restu, supaya
suci lahir dan batin. Jadi baik orang tua dan anak yang ada dikandungan
mendapakkan ritual ini untuk menucikan diri. Dengan adanya iringan taburan
bunga tujuh rupa yang menambah sebuah kesakralan ritual atau tanda kesucian
tersebut.
Dari analisa tentang beberapa simbol
dari acara tingkepan itu sendiri, kita bisa menyimpulkan bahwasannya suatu
simbol itu muncul yang mana dibaliknya ada sebuah mitos yang menjadikan tanda
itu bermakna sehingga bisa menjadi sesuatu yang membudaya. Seperti halnya yang
dikatakan barthes “penandaan adalah mitos itu sendiri, kehadiran dalam bentuk
maupun konsep dalam tanda cultural”. Barthes juga mengemukakan bahwasannya
“jika kita ingin menghubungkan sebuah skema mistis dengan sebuah sejarah umum,
untuk menjelaskan bagaimana skema itu sejalan dengan kepentingan masyarakat
tertentu-singkatnya, dari semiologi menjadi idiologi, perlu kiranya menjadi
seorang semiologi dalam memahami priinsip dasar mitos. Bahwasannya mitos
mentrasnformasikan sejarah menjadi alam”. Dan dari analisa ini kita dapat
mengetahui makna strukturalis dari sebuah simbol yang diproduksi oleh mitos
yang mana makna itu telah membudaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar